Minggu, 12 Desember 2010

DELUXE 80CC - SI KECIL UNTUK KELUARGA KECIL


Hari sudah terlalu larut, dalam perjalanan yang cukup melelahkan dengan seorang sahabat dari kampus magister manajemen UGM, saya memacu penuh kekuatan Marbora (kuda besiku, red-) dengan niat lekas tiba dirumah, jenis trek yang lurus dan tanpa hambatan, membuat saya tidak ada berniat untuk mengendurkan semangat menggeber marbora, hingga saat di dua lampu merah terakhir menuju kota Bekasi, rem tiba-tiba terinjak spontan karena pemandangan yang tidak biasa saya lihat. Bukan kecelakaan atau insiden ditengah jalan lainnya, melainkan saya melihat kuda besi lain yang berwarna merah dimana saudara si kuda besi (yang saya lihat tersebut) me-refil ingatan saya atas apa pengabdian sepotong benda yang paling berharga yang keluarga kami miliki, dahulu.

Pagi-pagi sekali, disekitar tahun 90an, lelaki, seorang pekerja BUMN, mengengkol sepotong kuda besi guna mengantarkan istrinya yang PNS pergi ke kantor, juga seorang anak sulungnya yang sudah masuk sekolah dasar di salah satu sekolah dasar muslim di bilangan kemayoran, Jakarta Pusat. Kejadian tersebut menjadi rutinitas harian bagi keluarga kecil yang penuh kesederhanaan ini.

Tidak hanya itu tugas si kuda besi, di akhir minggu, ia kerap mengantarkan keluarga kecil ini untuk berekreasi ke objek wisata dalam kota, biasanya kami kerap mengunjungi ancol, monas, sampur, atau kebun binatang, bintaro. Namun, layaknya angkutan umum, yang jika akhir pekan mengalami peningkatan penumpang, maka si kuda besi inipun demikian. Mendapat tambahan satu penumpang yaitu si bontot yang usianya belum mencapai 10 tahun saat itu. Berdesak-desakan? Tentu. Karena saat akhir pekan, saya harus berbagi tempat diatas jok dengan dua penumpang dewasa, dan seorang balita.

Sebelum tahun 1998 dimana keluarga kami mulai pindah rumah ke pinggiran Jakarta, kami kerap mengunjungi rumah kami tersebut. Yap, kami sudah memiliki rumah di bilangan Bekasi, namun karena alasan tertentu, kami baru menempatkan rumah kami tersebut di tahun 1998. Sebelum tahun kepindahan keluarga kecil ini, kami kerap mengunjungi rumah kami di Bekasi. Tentu, dengan kendaraan yang sama. Sepanjang sekitar 20km, si anak sulung duduk di ujung depan jok, si kepala keluarga dengan segala kelihaiannya berkendara, mencoba untuk terus statis menjaga keseimbangan kendaraan, lain saya, lain pula adik saya yang kerap terjaga diantara kedua orang tua. Dan yang terakhir, si Ibu yang kerap merelakan bokongnya beradu dengan behel besi ujung belakang motor guna memberikan tempat yang lebih luas kepada kami bertiga. Tidak hanya itu, foot step pun harus mereka bagi berdua antara ibu dan anaknya yang bontot.

Mungkin kebanyakan orang memandang setengah mata atas yang kami punya itu, walaupun pada zaman itu, kendaraan kami sudah usang. Namun bagi kami, dialah yang paling premium. Tidak perduli berapa besar tenaganya, seberapa ketertinggalan-zamannya, seberapa banyak teman sekolah yang mengejeknya dan seberapa persen kontribusinya menggelapkan kulit kami sekeluarga, kami tetap berterima kasih karena dialah salah satu bagian penting yang mengantarkan kami hingga saat ini si sulung mulai menempuh kuliah pasca sarjana dan si bontot menjadi salah satu mahasiswa teknik kimia yang mendapat beasiswa. Sudah seharusnya saya bersyukur atas "kesempitan" itu. Karena adanya dia, kami kerap berbagi hal-hal indah dan moment-moment seperti itu tidak akan kami rasakan jika kami memiliki kendaraan beroda empat, saat itu. Kerap saya merindukan masa-masa itu, namun saya sadar tidaklah mungkin, karena kedua anak dari lelaki yang saat ini sudah menjadi pensiunan BUMN dan si ibu yang masih PNS, sudah tumbuh besar secara fisik. Semoga masih ada kesempatan dan tempat untuk kami untuk terus berbagi ya Allah, amien.